TERNATE— Pemerintah Kota Ternate berencana mengalihfungsikan Plaza Gamalama Modern menjadi Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Tipe C. Keputusan ini diambil setelah gedung yang diresmikan pada 2021 tersebut tidak kunjung dimanfaatkan karena kurangnya investor yang memenuhi kriteria kerja sama.
Nadhir Wardhana Salama, Direktur Eksekutif Beyond Health Indonesia memberikan pandangannya terkait rencana ini.
Menurutnya, bahwa pembangunan rumah sakit tidak bisa dilakukan sembarangan, apalagi dengan memodifikasi gedung yang tidak dirancang untuk fungsi medis.
“Mendirikan rumah sakit bukan seperti membuka kafe atau mengisi ruko kosong. Ada standar teknis yang harus dipenuhi demi keselamatan pasien dan masyarakat sekitar,” ujar Nadhir.
Nadhir merujuk pada Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 40 Tahun 2022, yang menegaskan bahwa rumah sakit wajib memiliki bangunan, prasarana, dan peralatan kesehatan yang memenuhi persyaratan teknis, khususnya untuk mendukung pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat.
“Kalau bangunannya atau site plan tidak dirancang untuk alur pasien, pencegahan infeksi, tidak mempertimbangkan pola hubungan antara ruang, evakuasi gawat darurat, dan kontrol lingkungan, maka fungsinya sebagai RS rawan cacat sejak awal,” tambah Nadhir.
Menurut Alumni Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia tersebut, Ternate dengan jumlah penduduk sekitar 210.823 jiwa, semestinya memiliki setidaknya 211 tempat tidur rumah sakit menurut standar minimal WHO (1 tempat tidur per 1.000 penduduk).
Namun hingga kini belum ada kejelasan apakah RSUD di eks-Plaza Gamalama akan dibangun sebagai upaya dapat memenuhi kebutuhan tersebut atau hanya efisiensi bangunan yang terbengkalai.
“Pertanyaannya, berapa tempat tidur yang bisa disediakan RSUD di dalam gedung bekas plaza ini? Apakah akan dimaksimalkan untuk memenuhi standar rasio minimum? Jangan sampai RS ini hanya sebatas mengisi bangunan kosong,” sindir Nadhir.
Selain tempat tidur, ia juga menyoroti aspek penting lainnya: pengendalian risiko infeksi. Rumah sakit yang ideal wajib memiliki pemisahan zona infeksi, ventilasi tekanan negatif untuk ruang isolasi, serta sistem HVAC yang sesuai standar.
“Kalau bangunannya tidak punya kemampuan kontrol infeksi, maka pasien seperti TBC, pneumonia, dan penyakit menular lain bisa menciptakan klaster baru di dalam rumah sakit. Ini ironis—tempat menyembuhkan justru bisa jadi sumber penularan,” tambahnya.
Tidak hanya menyangkut keselamatan pasien dan tenaga kesehatan, Nadhir juga menekankan pentingnya memperhatikan keselamatan lingkungan sekitar rumah sakit. Lokasi yang berada di tengah kota padat harus dipastikan tidak memicu polusi suara, penumpukan limbah medis, atau gangguan lalu lintas yang berdampak jangka panjang.
“Rumah sakit bukan cuma fasilitas kesehatan, tapi juga infrastruktur sosial. Ia harus dirancang untuk berdampingan sehat dengan masyarakat di sekitarnya. Jangan sampai RS-nya berdiri, tapi warga sekitar terganggu karena limbah atau kemacetan,” jelas Nadhir.
Sebagai penutup, Nadhir menyerukan agar Pemkot Ternate tidak terburu-buru dalam mengeksekusi alih fungsi ini. Ia menyarankan agar dilakukan audit teknis oleh tim independen yang melibatkan tenaga ahli perencana rumah sakit, arsitek kesehatan, serta partisipasi masyarakat setempat.
“Saya percaya niat pemerintah baik, tapi niat baik saja tidak cukup. Harus ada rencana teknis matang, kajian risiko, dan transparansi publik. Kita harus berhenti memperlakukan rumah sakit seperti proyek biasa. Ini adalah amanat kesehatan publik,” tutup Nadhir. (**)
Discussion about this post