Penutupan tambang-tambang emas ilegal di sejumlah wilayah Maluku Utara beberapa pekan terakhir mencuri perhatian publik.
Kepolisian Daerah (Polda) Maluku Utara, melalui jajaran Polres dan Brimob, menindak lokasi tambang liar di Roko (Halmahera Utara), Kusubibi (Halmahera Selatan), hingga dua titik di Pulau Obi.
Narasi yang diusung adalah menyelamatkan masyarakat dari bahaya ekologis dan sosial yang ditimbulkan oleh pertambangan tanpa izin.
Namun, di balik narasi penyelamatan ini, muncul pertanyaan yang lebih mendasar: apakah keadilan ekologis benar-benar diberlakukan untuk semua?
Jika kita menilik lebih jernih, kerusakan lingkungan berskala besar di Maluku Utara justru lebih banyak disebabkan oleh operasi industri pertambangan nikel yang dilegalkan oleh negara.
Aktivitas ekstraktif ini membuka ribuan hektare hutan, mencemari sumber air, mempercepat abrasi pesisir, memperparah sedimentasi laut, dan secara permanen mengubah wajah pulau-pulau kecil.
Tambang rakyat dianggap membahayakan karena tidak memiliki izin formal. Namun tambang industri besar pun menimbulkan dampak ekologis yang sama—atau bahkan lebih besar—hanya saja dibungkus legalitas.
Tambang rakyat memang tidak memiliki izin. Mereka menggunakan merkuri dan beroperasi di luar sistem formal.
Namun, mereka tidak menambang untuk akumulasi laba, melainkan untuk bertahan hidup. Mereka muncul karena negara gagal menyediakan pekerjaan layak, gagal menghadirkan akses legal untuk pertambangan berskala kecil dan ramah lingkungan, serta gagal menjadikan masyarakat sebagai subjek pembangunan.
Dalam konteks ini, tambang rakyat adalah gejala dari krisis struktural yang lebih luas: ketimpangan ekonomi, absennya perlindungan sosial, dan eksklusi dalam pengelolaan sumber daya.
Pandangan ini sejalan dengan Vandana Shiva, tokoh lingkungan asal India, yang menyatakan bahwa “ekologi bukan hanya tentang lingkungan, tetapi juga tentang keadilan terhadap komunitas yang bergantung padanya.” Dalam banyak kasus, komunitas-komunitas tersebut justru menjadi korban dari pembangunan yang tidak inklusif.
Selain itu, ahli hukum lingkungan Prof. Henri Subagyo juga pernah menegaskan bahwa penegakan hukum lingkungan di Indonesia cenderung “represif ke bawah dan kompromistis ke atas,” menciptakan ketimpangan struktural dalam perlindungan lingkungan.
Ironinya, negara hadir dengan cepat dan keras untuk menutup tambang rakyat, tapi bersikap permisif terhadap pelanggaran oleh korporasi besar.
Bahkan saat ada indikasi pelanggaran AMDAL, pencemaran lingkungan, atau konflik agraria, penanganannya sering lambat atau dibiarkan. Hukum menjadi tebang pilih, berpihak pada kekuatan modal, dan meninggalkan rakyat kecil tanpa perlindungan.
Yang lebih menyedihkan, tambang rakyat bukan sekadar aktivitas ekonomi, tetapi juga bentuk survival masyarakat di tengah kemiskinan dan keterbatasan akses sumber daya.
Mereka bukan kriminal, melainkan kelompok marjinal yang terdesak oleh sistem ekonomi yang tidak berpihak. Jika tambang mereka ditutup tanpa solusi ekonomi alternatif, maka sesungguhnya kita sedang mengabaikan hak hidup mereka.
Dalam tulisannya, Nancy Fraser, filsuf feminis dan teoritisi keadilan sosial, memperkenalkan konsep redistribusi dan rekognisi. Dalam konteks tambang rakyat, negara bukan hanya gagal melakukan redistribusi sumber daya secara adil, tetapi juga gagal memberikan rekognisi atas eksistensi dan hak hidup mereka sebagai warga negara.
Kita semua mendukung penegakan hukum dan perlindungan lingkungan. Tapi jika alasan utamanya adalah menjaga kelestarian alam, maka prinsip keadilan ekologis harus diterapkan secara setara. Tidak boleh ada standar ganda dalam menjaga bumi: yang legal tapi merusak tetap harus dihentikan.
Kini saatnya pemerintah daerah, aparat hukum, dan pembuat kebijakan nasional membangun sistem pengelolaan sumber daya alam yang adil dan berkelanjutan. Maluku Utara membutuhkan kebijakan pertambangan yang bukan hanya legal di atas kertas, tapi juga adil bagi masyarakat dan lestari bagi lingkungan.
Jika alasan utamanya adalah melindungi lingkungan, maka semua pelaku kerusakan baik legal maupun ilegal—harus ditindak setara. Tanpa itu, keadilan ekologi hanya akan jadi slogan kosong yang kehilangan wajah manusianya: wajah rakyat kecil yang paling dulu merasakan dampak krisis ekologis. (**)
