Oleh: Kara Carolluna, Vedy Sahetapy, Manik Marganamahendra
Tim Tenaga Ahli – INDEF
=======================
Agenda hilirisasi sumber daya alam merupakan langkah strategis Indonesia untuk memperkuat struktur ekonomi nasional, meningkatkan nilai tambah, dan memperluas manfaat pembangunan bagi masyarakat.
Dalam beberapa tahun terakhir, komitmen pemerintah untuk mendorong hilirisasi, baik di sektor mineral maupun energi telah ditunjukkan melalui berbagai perubahan kebijakan, termasuk penyederhanaan perizinan dan penataan kewenangan. Upaya ini patut diapresiasi sebagai pondasi awal menuju tata kelola industri yang lebih efisien dan kompetitif.
Namun, pengalaman di lapangan menunjukkan bahwa tantangan utama hilirisasi saat ini bukan lagi pada ketersediaan sumber daya atau minat investasi, melainkan pada konsistensi dan keterpaduan regulasi serta perizinan.
Di sinilah agenda debottlenecking menjadi relevan sebagai proses penataan ulang agar regulasi bekerja lebih efektif, transparan, dan selaras dengan tujuan pembangunan nasional.
Debottlenecking perizinan membuka peluang besar untuk memperkuat kepastian hukum bagi pelaku usaha, sekaligus meningkatkan kualitas pengawasan lingkungan dan sosial. Dengan alur perizinan yang jelas, terintegrasi, dan berbasis risiko, pemerintah dapat mendorong realisasi investasi hilirisasi tanpa mengorbankan prinsip kehati-hatian. Pendekatan ini juga memungkinkan aparatur negara untuk berfokus pada fungsi pengendalian dan pengawasan, bukan sekadar administrasi prosedural.
Pada industri bauksit-aluminium, debottlenecking regulasi diperlukan untuk menjamin kesinambungan antara kebijakan larangan ekspor bahan mentah, kesiapan smelter, dan kepastian pasokan bahan baku. Penyederhanaan proses persetujuan RKAB, harmonisasi perizinan pusat hingga daerah, serta kepastian aturan harga dan insentif akan memberikan sinyal positif bagi investor sekaligus memperkuat ekosistem industri aluminium nasional yang berdaya saing global.
Sementara itu, pada industri green methanol, tantangan utama terletak pada belum matangnya kerangka regulasi untuk teknologi baru, khususnya yang memanfaatkan CO₂ dan hidrogen hijau. Debottlenecking di sektor ini bukan hanya soal percepatan izin industri kimia, tetapi juga penyusunan definisi hukum, standar teknis, serta skema insentif yang jelas. Dengan regulasi yang lebih adaptif, green methanol dapat berkembang sebagai solusi substitusi impor sekaligus pendorong ekonomi sirkular dan pengurangan emisi.
Adapun pada industri SAF,
debottlenecking regulasi menjadi kunci untuk menghubungkan potensi bahan baku domestik dengan standar pasar global. Harmonisasi kebijakan energi, lingkungan, dan transportasi udara, serta kepastian tata niaga dan insentif fiskal, akan mempercepat pembentukan pasar SAF yang berkelanjutan.
Langkah ini tidak hanya mendukung komitmen dekarbonisasi sektor penerbangan, tetapi juga memperkuat posisi Indonesia dalam rantai pasok energi bersih global.
Ke depan, terdapat beberapa rekomendasi strategis yang dapat memperkuat agenda debottlenecking hilirisasi.
Pertama, pemerintah perlu mendorong harmonisasi regulasi lintas sektor dan lintas level pemerintahan, dengan pembagian peran yang jelas antara pusat dan daerah.
Kedua, penyederhanaan perizinan perlu diiringi dengan penguatan standar pengawasan lingkungan dan sosial, agar percepatan investasi tetap sejalan dengan prinsip keberlanjutan.
Ketiga, diperlukan kerangka insentif yang konsisten dan jangka panjang, khususnya bagi industri hilir berbasis teknologi rendah karbon seperti green methanol dan SAF. Terakhir, sinergi antara pemerintah dan sektor swasta perlu diperkuat melalui dialog kebijakan yang terbuka.
Pada akhirnya, debottlenecking regulasi dan perizinan bukan sekadar agenda administratif, melainkan bagian dari strategi besar untuk membangun industri hilir yang tangguh, berdaya saing, dan berkelanjutan.
Dengan penataan regulasi yang tepat, industri aluminium, green methanol, dan SAF dapat menjadi lokomotif pertumbuhan baru yang tidak hanya meningkatkan nilai tambah ekonomi, tetapi juga memperkuat ketahanan energi dan komitmen Indonesia terhadap pembangunan yang berkelanjutan. (**)

