Oleh: Dr. Rachma Fitriati, M.Si, M.Si (Han), Ketua Tim Ekspedisi Patriot Universitas Indonesia di Pulau Morotai
=================================
Di ujung utara Nusantara, di sebuah pulau yang pernah menjadi panggung sejarah dunia, kini terukir sebuah paradoks pembangunan.
Morotai, mutiara di bibir Samudera Pasifik, menyimpan janji besar sebagai lokomotif hilirisasi tuna Indonesia. Namun di balik megahnya infrastruktur dan gemanya wacana, tersembunyi kisah pilu tentang nelayan-nelayan yang justru terpinggirkan oleh gelombang hilirisasi yang seharusnya membawa kesejahteraan.
Ekosistem yang Timpang: Ketika Regulasi Hanya Jadi Teks
Di perairan Bere-bere dan Gua Hira, Saya menyaksikan sendiri, sebuah ironi yang menyayat hati. Kapal-kapal berukuran 30 GT masih leluasa beroperasi di zona 0-4 mil yang seharusnya menjadi ruang hidup sakral bagi nelayan tradisional. Pelanggaran terhadap Permen KP No.18/2021 ini bukan sekadar persoalan teknis, melainkan cermin dari sistem yang gagal melindungi yang lemah.
Yang lebih memprihatinkan, pelanggaran ini telah berevolusi menjadi pola yang sistematis dan terorganisir. Kapal besar membentuk jaringan dengan kapal-kapal kecil pengumpan (disebut Pacura dengan sebagian nelayan berasal dari Philipina), yang bertindak sebagai penyuplai, menciptakan sebuah ekosistem perikanan yang timpang.
Struktur ini melahirkan pasar yang bersifat monopsonistik, di mana nelayan tradisional terjebak dalam posisi sebagai price-taker yang tidak memiliki daya tawar.
Dampaknya terasa hingga ke tingkat yang paling dasar. Nelayan-nelayan yang seharusnya menjadi subjek pembangunan, justru terdepak menjadi penonton di laut mereka sendiri. Mereka hanya mendapat remah-remah dari nilai ekonomi yang seharusnya menjadi hak mereka, sementara nilai tambah yang besar mengalir deras ke entitas tertentu.
Infrastruktur yang Terbengkalai: Rantai Dingin yang Putus di Tengah Jalan
Kehadiran Sentra Kelautan dan Perikanan Terpadu (SKPT) Morotai yang diresmikan Menteri Kelautan dan Perikanandengan gemerlap April 2025, seharusnya menjadi titik balik transformasi perikanan di pulau ini. Konsep yang mengintegrasikan seluruh rantai nilai dari hulu ke hilir ini memang terlihat sempurna di atas kertas.
Lokasinya yang strategis di bibir Pasifik menjadikannya gerbang ideal menuju pasar premium internasional.
Namun realita berbicara lain. Rantai nilai tuna Morotai masih berkutat pada pola lama yang terpusat. Hasil tangkapan nelayan akhirnya bermuara pada satu atau sedikit perusahaan pengolah, menciptakan ketergantungan yang tidak sehat.
Kondisi ini menjelaskan mengapa Morotai belum memerlukan Tempat Pelelangan Ikan yang kompetitif – karena tidak ada mekanisme pasar yang sehat untuk diperebutkan.
Yang lebih memilukan adalah nasib infrastruktur rantai dingin yang vital. Mesin pencetak es di lima lokasi strategis terbengkalai, menjadi monumen kegagalan perencanaan yang berkelanjutan. Cold storage di SKPT kerap “mati suri” akibat ketidakstabilan pasokan listrik, membuatnya tidak lebih dari bangunan kosong yang megah.
Akibatnya, nelayan menghadapi pilihan yang menyakitkan: menjual hasil tangkapan dengan harga murah atau menyaksikan ikan-ikan segar itu membusuk di depan mata. Krisis rantai dingin ini bukan hanya memutus mata rantai hilirisasi di hulu, tetapi juga mereduksi nelayan kembali ke posisi sebagai pedagang bahan mentah yang rentan.
Menuju Solusi Holistik: Membangun Ekosistem yang Berkeadilan
Untuk memutus lingkaran setan ini, diperlukan pendekatan yang komprehensif dan berorientasi pada keadilan.
Langkah pertama dan terpenting adalah penegakan hukum yang konsisten dan berintegritas. Data menunjukkan bahwa 78% pelanggaran perikanan justru terkonsentrasi di wilayah terpencil seperti Morotai. Ini menunjukkan adanya kecenderungan penegakan hukum yang timpang dan diskriminatif.
Operasi terpadu yang melibatkan PSDKP, TNI AL, dan Polairud harus dilakukan secara rutin dan sistematis. Namun penegakan hukum saja tidak cukup. Perlu dibangun sistem pengawasan partisipatif yang melibatkan masyarakat lokal, menjadikan mereka sebagai mata dan telinga di lapangan.
Kedua, pemberdayaan kelembagaan nelayan harus menjadi prioritas. Koperasi nelayan tidak boleh sekadar menjadi wadah formalitas, tetapi harus bertransformasi menjadi entitas bisnis yang tangguh dan terintegrasi. Pengalaman Koperasi Mina Jaya di Bitung membuktikan bahwa koperasi yang dikelola secara profesional mampu meningkatkan pendapatan nelayan secara signifikan.
Koperasi harus mampu mengelola seluruh rantai nilai, dari penyediaan es dan BBM, penampungan hasil tangkapan, hingga pemasaran yang menguntungkan. Dengan demikian, nelayan tidak lagi menjadi pihak yang terisolasi dan lemah dalam menghadapi permainan pasar.
Ketiga, peran pemerintah daerah perlu diubah secara fundamental dari sekadar fasilitator pasif menjadi aktor pembangunan yang aktif dan responsif. Pembentukan Perusahaan Umum Daerah (Perusda) Perikanan yang profesional dapat menjadi penyeimbang dalam struktur pasar yang timpang.
Perusda ini harus dirancang bukan untuk mematikan usaha swasta, melainkan untuk menjadi regulator pasar dan penjamin keadilan. Ia dapat berperan dalam mengelola cold storage dengan sistem energi terbarukan, menjadi offtaker dengan harga wajar, dan membuka akses pemasaran langsung ke pasar internasional.
Keberhasilan Perusda Perikanan di NTT yang berhasil menaikkan harga tuna di tingkat nelayan sebesar 25% patut menjadi inspirasi. Ini membuktikan bahwa intervensi negara yang tepat dapat menciptakan perubahan yang signifikan.
Investasi SDM: Modal Jangka Panjang yang Terabaikan
Aspek yang sering terabaikan dalam narasi hilirisasi adalah pembangunan sumber daya manusia. Selama ini, fokus pembangunan cenderung pada aspek fisik dan infrastruktur, sementara kapasitas manusia sebagai pelaku utama justru terabaikan.
Kolaborasi antara pemerintah daerah, KKP, dan institusi pendidikan seperti Politeknik Kelautan dan Perikanan Bitung dapat menciptakan ekosistem pembelajaran yang berkelanjutan. Program sertifikasi kompetensi dan magang bagi pemuda Morotai di bidang manajemen rantai dingin, teknologi pengolahan, dan pemasaran digital dapat menciptakan generasi baru pelaku perikanan yang melek teknologi dan berdaya saing.
Pendidikan dan pelatihan ini tidak boleh bersifat parsial, tetapi harus terintegrasi dalam sebuah sistem pengembangan kapasitas yang komprehensif. Mulai dari level dasar hingga lanjutan, dari aspek teknis hingga manajerial, sehingga tercipta pipeline talenta yang dapat mendorong transformasi sektor perikanan Morotai.
Morotai yang Berdaulat: Menulis Sejarah Baru Keadilan Maritim
Pada akhirnya, ujian sebenarnya dari hilirisasi tuna di Morotai bukan terletak pada berapa banyak ton ikan yang diekspor atau berapa nilai devisa yang dihasilkan.
Tolak ukur keberhasilan yang sesungguhnya adalah sejauh mana nilai tambah ekonomi dapat dinikmati oleh para nelayan sebagai ujung tombak sektor perikanan.
Sejarah mencatat, Bandara Pitu Morotai pernah menjadi pangkalan strategis dalam percaturan global. Kini, saatnya Morotai menulis sejarah baru sebagai pusat hilirisasi tuna yang berkeadilan. Sebuah tempat di mana nelayan bukan lagi penonton yang pasif, melainkan pemain utama yang berdaulat di laut mereka sendiri.
Transformasi ini membutuhkan keberanian politik dan konsistensi implementasi. Tidak cukup hanya dengan membangun infrastruktur fisik, tetapi harus diiringi dengan pembangunan kelembagaan yang kuat, penguatan SDM yang berkelanjutan, dan penegakan hukum yang berkeadilan.
Morotai memiliki semua potensi untuk menjadi contoh sukses hilirisasi yang inklusif. Yang dibutuhkan sekarang adalah komitmen bersama untuk mewujudkan cita-cita tersebut, menjadikan Morotai bukan hanya sebagai gerbang ekspor tuna Indonesia, tetapi juga sebagai contoh nyata bagaimana pembangunan kelautan yang berkeadilan dapat diwujudkan.
Dalam narasi besar poros maritim dunia, Morotai dapat menjadi bukti bahwa Indonesia tidak hanya mampu mengelola sumber daya lautnya, tetapi juga mampu memastikan bahwa kesejahteraan dari kekayaan laut itu dinikmati oleh mereka yang paling berjasa – para nelayan tradisional yang dengan susah payah mengarungi lautan untuk menghidupi bangsa ini. (**)
