
SOFIFI — Proyek ambisius Jalan Trans Halmahera tampaknya tidak hanya menjadi perhatian Pemerintah Provinsi Maluku Utara, tetapi juga mendapat dukungan politik dari tingkat pusat. Indikasi itu terlihat dari aktivitas Anggota DPR RI Dapil Maluku Utara, Irene Yusiana Roba Putri, yang disebut-sebut turut memberi support terhadap proyek strategis tersebut.
Dugaan keterlibatan Irene menguat setelah muncul unggahan di akun Instagram pribadinya, yang menampilkan momen pertemuan antara Gubernur Maluku Utara, Sherly Tjoanda, Bupati Pulau Taliabu, Shalsabila Mus, dan Irene Yusiana Roba Putri dengan Menteri Pekerjaan Umum (PU) Republik Indonesia.
Dalam foto yang diunggah itu, keempat tokoh tersebut tampak berpose di ruang kerja Menteri PUPR. Keterangan singkat yang menyertai postingan Irene yakni “Kami Menemui Menteri Pekerjaan Umum Dody Hanggodo untuk mendiskusikan dukungan pemerintah pusat terhadap infrastruktur di Maluku Utara,”
Pertemuan itu menimbulkan spekulasi publik bahwa proyek jalan tersebut tidak hanya berlandaskan agenda kepentingan warga, tetapi juga mengandung dimensi politik dan lobi kekuasaan di baliknya. Apalagi, proyek ini menuai kritik karena sebagian besar jalurnya beririsan langsung dengan wilayah industri dan tambang nikel berskala besar di Halmahera Tengah dan Halmahera Timur.
Untuk memastikan hal itu, awak media mencoba menghubungi Anggota DPR-RI Dapil Maluku Utara, Irene Yusiana Roba Putri, politisi PDI Perjuangan yang duduk di Komisi V DPR RI—komisi yang membidangi Kementerian PU, Kementerian Perhubungan, Kementerian Perumahan dan Kawasan Pemukiman, Kementerian Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal, dimana institusi-institusi tersebut adalah kunci dalam proyek infrastruktur nasional.
Namun, hingga berita ini diturunkan, Irene Yusiana Roba Putri belum memberikan tanggapan atas permintaan konfirmasi yang disampaikan. Upaya konfirmasi dilakukan melalui pesan singkat melalui WhatsApp, tetapi tidak mendapat respon.
Sikap diam Anggota DPR RI Dapil Maluku Utara, Irene Yusiana Roba Putri, terkait polemik proyek Jalan Trans Halmahera menuai sorotan dari berbagai kalangan. Salah satunya datang dari praktisi hukum, Rafiq Hafitzh, yang menilai ketidakhadiran suara Irene di tengah isu strategis ini sebagai bentuk kurang responsif terhadap tanggung jawab moral dan politiknya sebagai wakil rakyat.
Rafiq menegaskan, Irene seharusnya tampil di depan untuk membela kepentingan masyarakat Maluku Utara, bukan sekadar menjadi penonton atas proyek-proyek besar yang tengah berlangsung di daerah asalnya.
“Irene harus hadir untuk membela kepentingan masyarakat, karena dia adalah wakil dari masyarakat Maluku Utara yang duduk di Senayan. Apalagi dia berada di Komisi V, yang langsung membidangi sektor infrastruktur dan transportasi,” tegas Rafiq saat dihubungi awak media, Selasa (4/11).
Menurutnya, posisi Irene di Komisi V DPR-RI memberikan ruang yang sangat strategis untuk memperjuangkan pembangunan yang berpihak pada masyarakat, bukan semata pada kepentingan industri atau kelompok tertentu.
“Sebagai anggota Komisi V, dia punya akses langsung terhadap Kementerian PU dan Kementerian Perhubungan. Perannya harus lebih besar dalam memastikan proyek-proyek di Maluku Utara tidak hanya menguntungkan segelintir pihak, tapi benar-benar memberikan manfaat nyata bagi rakyat,” tambah Rafiq.
Rafiq pun berharap agar ke depan, para wakil rakyat dari Maluku Utara lebih aktif menyuarakan aspirasi publik, terutama dalam proyek-proyek besar yang berpotensi mengubah wajah ekonomi dan lingkungan di daerah tersebut.
“Diam bukan pilihan. Publik butuh kehadiran wakilnya, bukan hanya saat kampanye, tetapi juga ketika kebijakan besar sedang dipertaruhkan,” tandasnya.
Senada, Wakil Direktur (Wadir) LAPP SC Malut, Rusli M. Zen, mengatakan pembangunan Jalan Trans Halmahera yang digagas Gubernur Maluku Utara, Sherly Tjoanda, kini menuai sorotan tajam dari berbagai kalangan. Kritik itu datang dari praktisi maupun akademisi yang menilai proyek ambisius ini tidak mempertimbangkan prioritas dasar masyarakat, terutama di tengah kondisi anggaran daerah yang sangat terbatas.
Kata Rusli, secara teknis, pembangunan jalan baru membutuhkan biaya yang sangat besar. Diperkirakan, pembangunan Jalan Trans Halmahera bisa menghabiskan puluhan miliar rupiah per kilometer. Dengan kondisi keuangan daerah yang kritis, kritik muncul bahwa anggaran seharusnya lebih diarahkan untuk peningkatan kualitas jalan provinsi yang sudah bertahun-tahun rusak daripada membangun jalur baru yang bersinggungan dengan kawasan tambang.
“Jika Gubernur yakin bisa menggandeng pemerintah pusat untuk menanggung sebagian biaya, saya tegaskan seharusnya lebih rasional untuk memperkuat jalan nasional yang sudah ada, bukan membangun Trans Halmahera yang justru lebih memperpendek jarak ke sejumlah kawasan tambang,” pintanya.
Wadir LAPP SC Malut ungkapkan sejumlah pihak, termasuk aktivis mahasiswa, akademisi di bidang transportasi, dan praktisi jalan, diminta memberikan perhatian khusus terhadap program ini. Termasuk juga DPRD Provinsi dan DPR RI, agar pengawasan terhadap proyek strategis ini tidak terabaikan.
Dia menilain jika ambisi Gubernur dipaksakan, pembangunan di sektor lain berpotensi terhambat akibat alokasi anggaran yang sangat besar untuk jalan lintas Halmahera. Dalam kesempatan ini dia menekankan pentingnya keseimbangan antara pembangunan infrastruktur dan kebutuhan dasar masyarakat, agar proyek besar tidak mengorbankan sektor publik lain yang lebih prioritas.
“Dengan polemik ini, publik Maluku Utara kini menantikan transparansi, kajian teknis, dan pengawasan ketat terhadap Jalan Trans Halmahera agar pembangunan benar-benar berpihak pada rakyat, bukan hanya kepentingan industri atau ambisi politik,” pungkasnya.**
