Publikmalutnews.com
Sabtu, Oktober 11, 2025
  • Berita
    • Advertorial
    • Olahraga
    • Opini
    • Promo News
  • Kota
    • Ternate
    • Tidore
  • Daerah
    • Halmahera Barat
    • Halmahera Selatan
    • Halmahera Tengah
    • Halmahera Timur
    • Halmahera Utara
    • Morotai
    • Sofifi
    • Sula
    • Taliabu
  • Politik
  • Ekonomi
  • Hukrim
  • Nasional
  • Nusantara
  • Video
No Result
View All Result
  • Berita
    • Advertorial
    • Olahraga
    • Opini
    • Promo News
  • Kota
    • Ternate
    • Tidore
  • Daerah
    • Halmahera Barat
    • Halmahera Selatan
    • Halmahera Tengah
    • Halmahera Timur
    • Halmahera Utara
    • Morotai
    • Sofifi
    • Sula
    • Taliabu
  • Politik
  • Ekonomi
  • Hukrim
  • Nasional
  • Nusantara
  • Video
No Result
View All Result
Publikmalutnews.com
No Result
View All Result
Home Berita Opini

Rapat – Sebuah Catatan Tentang Revolusi yang Tak Bergemuruh

Redaksi by Redaksi
Oktober 11, 2025
in Opini
0
Rapat – Sebuah Catatan Tentang Revolusi yang Tak Bergemuruh

Asghar Saleh

Oleh: Asghar Saleh
Wartawan Senior Maluku Utara
≈===========================

Hasil sebuah rapat bisa mengubah arah sebuah bangsa. Sejarah Indonesia membuktikannya. Sebelum sebuah negara lahir, sebelum bendera dikibarkan dan proklamasi dibacakan, semuanya dimulai dari serangkaian pertemuan – rapat-rapat yang penuh perdebatan, keputusan, dan kadang pula kebisuan yang menentukan masa depan.

Dari bulan Mei hingga Agustus tahun 1945, tokoh-tokoh bangsa berkumpul di banyak tempat. Ada rapat resmi dan ada pula yang diam-diam. Tak selalu jelas siapa yang mengundang, siapa yang datang, atau siapa yang hanya mendengar dari balik jendela. Kita mengenal nama-nama besar yang tercatat dalam sejarah – Soekarno, Hatta, Yamin, Soepomo – tetapi kita sering lupa pada mereka yang berjaga di luar ruang rapat, yang menyeduh kopi untuk peserta sidang, menyiapkan kertas, memastikan ruang aman dari gangguan, dan menjaga agar pembicaraan terus berlangsung. Sejarah memang mencatat para tokoh, tetapi tidak selalu mencatat mereka yang memastikan sejarah itu bisa berlangsung.

Filsuf Prancis, Alain Badiou, menyebut peristiwa semacam itu sebagai l’événement – sebuah kejadian yang memutus keteraturan lama dan melahirkan makna baru. Dalam setiap peristiwa besar, katanya, selalu muncul orang-orang yang menjelma menjadi subyek dalam kebenaran, yang yakin bahwa yang mereka lakukan adalah benar, dan dari keyakinan itu lahirlah revolusi.

Kita, lewat konstruksi sejarah, membayangkan revolusi sebagai dentuman heroik: pemuda berikat kepala merah putih, prajurit tanpa seragam, bambu runcing, teriakan merdeka. Kita lupa bahwa revolusi sejati kadang terjadi tanpa ledakan, tanpa darah, tanpa sorak. Seperti kata Goenawan Mohamad, “revolusi yang sejati justru datang dari perubahan-perubahan yang tak bergemuruh.”

Rapat yang Melahirkan Sebuah Negara

Akhir Mei 1945, sebuah badan bentukan Jepang yang mulai terdesak di medan perang menggelar dua kali rapat di Jakarta. Namanya Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan, disingkat BPUPK. Jepang hanya memberi kuasa kepada Angkatan Darat ke-16 di Jawa untuk membentuknya. Tak ada kata “Indonesia” dalam nama awalnya; itu muncul kemudian, mungkin demi memberi kesan bahwa proses ini sepenuhnya milik kita.

BPUPK yang diketuai Dr. Radjiman Wedyodiningrat menggelar rapat pertama untuk merumuskan dasar negara. Mohammad Yamin, Soepomo, dan Soekarno bergantian menyampaikan pidato, lalu dibentuklah “Panitia Sembilan” – yang kemudian melahirkan rancangan dasar negara, Pancasila.

Rapat kedua BPUPK menghasilkan sejumlah keputusan penting: bentuk negara kesatuan, pemerintahan republik, bahasa nasional, bendera merah putih, hingga rekomendasi untuk segera memproklamasikan kemerdekaan. Setelah itu, BPUPK dibubarkan dan digantikan dengan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).

Tetapi sejarah berbelok ketika kelompok pemuda mendesak agar kemerdekaan segera diumumkan tanpa menunggu sidang PPKI. Soekarno menyebut peristiwa itu sebagai “penjebolan”, sebab proses kemerdekaan melompat lebih cepat dari rencana Jepang. Proklamasi 17 Agustus 1945 pun dibacakan, meski saat itu Indonesia masih sebatas ide – sebuah nama tanpa negara.

Sehari kemudian, PPKI mengadakan rapat pertama. Dari sinilah lahir keputusan-keputusan penting yang mengokohkan fondasi republik: pengesahan UUD, pengangkatan Soekarno-Hatta sebagai Presiden dan Wakil Presiden, pembentukan Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), serta penetapan delapan provinsi beserta gubernurnya. Badan Keamanan Rakyat juga dibentuk, menjadi cikal bakal TNI.

Revolusi Indonesia, jika mau jujur, bukan lahir di medan tempur, melainkan di ruang-ruang rapat.

> Rapat yang Melahirkan Sebuah Provinsi

Setengah abad kemudian, sejarah yang serupa berulang – meski dalam skala lebih kecil, di ujung timur nusantara. Pada tanggal 27 Oktober, dua puluh empat tahun lalu, di sebuah ruangan kecil di lantai tiga kantor Bupati Maluku Utara, puluhan orang berkumpul. Mereka bukan pejuang bersenjata, melainkan pegawai negeri, dosen, wartawan, dan politisi lokal.

Tiga tokoh duduk di depan: Muhajir Albar, Hein Namotemo, dan Malik Ibrahim. Mereka memandu rapat yang awalnya hanya dimaksudkan sebagai seminar untuk memberi masukan kepada Gubernur Maluku M. Akib Latuconsina menjelang Sidang Umum MPR. Tapi di tengah sesi yang tampak biasa itu, seorang anggota DPRD muda bernama Syaiful Bahri Ruray menyulut bara api.

Dalam sesi reformasi politik, Syaiful dengan berani mengusulkan pemekaran provinsi – membentuk Provinsi Moloku Kie Raha. Gagasannya seperti petir yang menyambar di siang bolong. Di pojok ruangan, Abdurahman Lahabato, pemimpin redaksi Ternate Post, berdiri memberi dukungan lantang. Rapat kecil itu tiba-tiba berubah menjadi momentum sejarah. Media lokal menjadikannya tajuk utama dan menyebarkan semangat baru: revolusi pemekaran.

Namun di balik layar, ada dua birokrat muda yang patut disebut: Udin Marsaoly dan Iqbal Djoge. Mereka adalah panitia teknis seminar yang menerima surat dari Bappeda Maluku berdasarkan instruksi Gubernur. Ketika tak menemukan pembicara untuk tema reformasi politik, keduanya secara tak sengaja bertemu Syaiful di sebuah kafe di Kalumpang. Dari pertemuan kebetulan itulah api sejarah menyala.

Makalah Syaiful berjudul “Menuju Provinsi MKR – Sebuah Upaya Mengisi Reformasi Politik di Maluku Utara” menjadi naskah yang mengguncang. Dari situ, mahasiswa turun ke jalan, politisi menggelar rapat, dan suara pemekaran menggema di berbagai daerah.

Namun tidak semua menyambutnya dengan tangan terbuka. Gubernur Akib Latuconsina marah besar ketika mendengar kabar bahwa seminar di Ternate telah melangkahi kewenangannya. Ketegangan itu mengingatkan pada luka lama – kegagalan perjuangan pemekaran di tahun 1960-an, ketika Gubernur Maluku saat itu, Muhammad Padang, melarang DPR Gotong Royong Maluku Utara membahas aspirasi serupa. Padahal saat itu dokumen pemekaran sudah diserahkan langsung kepada Presiden Soekarno.

Lebih jauh ke belakang, di tahun 1957, pemerintah pusat di Ambon bahkan menggunakan kekuatan militer di bawah Herman Pieters untuk menekan tokoh-tokoh pemekaran seperti A.M. Kamaruddin (Oom Sau), Kasim Purbaya, Munazer Aziz, dan KH Arifin Assagaf. Sebagian ditangkap, dibuang ke Nusa Kambangan, sebagian lagi dipaksa bungkam.

Dari Hegemoni ke Harapan yang Retak

Sejak masa kolonial, Ambon memang menjadi pusat kekuasaan di Maluku. Ketika Portugis hengkang, Belanda menjadikan Ambon sebagai pos utama untuk mengatur seluruh wilayah. Orang-orang Ambon diberi akses pendidikan ke negeri Belanda, membentuk jejaring intelektual dan politik yang kelak mengisi jabatan penting di awal Republik.

Sementara tokoh-tokoh dari wilayah utara – Ternate, Tidore, Halmahera – yang juga berjuang mempertahankan kemerdekaan, jarang sekali mendapat tempat di lingkaran kekuasaan nasional. Tak heran bila ketimpangan ini melahirkan ketidakpuasan yang menahun.

Sejarawan R.Z. Leirissa pernah menulis bahwa “Ambon tidak identik dengan Maluku.” Tapi Orde Baru memelihara stereotip itu. Maka ketika era reformasi tiba, tuntutan untuk “memisahkan diri” menjadi suara bulat. Lahirlah Undang-Undang Nomor 46 Tahun 1999, yang menetapkan pembentukan Provinsi Maluku Utara.

Namun dua dekade lebih setelah itu, cita-cita besar belum sepenuhnya menjadi kenyataan. Secara administratif, ya – kita telah terpisah. Tapi secara sosial dan ekonomi, jarak belum terjembatani.

Pertumbuhan ekonomi memang mencatat angka fantastis – 27,74 persen pada triwulan II tahun 2022 – namun kemiskinan tetap tinggi, pengangguran tak menurun, dan banyak guru menunggu honor berbulan-bulan. Stunting masih mengkhawatirkan, lingkungan rusak, dan indeks kebebasan pers lebih rendah dari daerah lain. Ibu kota provinsi pun, hingga kini, masih berstatus desa.

>Rapat yang Tak Pernah Usai

Kini, di gedung-gedung megah tempat para pejabat berkantor, rapat-rapat masih digelar setiap hari. Rapat anggaran, rapat pembahasan proyek, rapat revisi, rapat koordinasi, rapat pembagian, dan juga rapat perayaan. Di luar gedung, rakyat menunggu – apakah rapat-rapat itu masih punya makna seperti rapat-rapat yang dulu melahirkan bangsa dan daerah ini?

Mungkin benar, seperti bait puisi Mustofa Basri yang dulu sering dibacakan oleh Rahmi “Naid” Husen di depan kantor bupati, saat 12 martir mogok makan menuntut pemekaran Maluku Utara:

> Rasanya baru kemarin
Petinggi-petinggi yang dulu suka korupsi
sudah banyak yang meneriakkan reformasi
tanpa merasa risih.

Rakyat yang selama ini terdaulat
sudah semakin pintar mendaulat.
Pejabat yang tak kunjung merakyat
pun terus dihujat dan dilaknat.

Dan mungkin, di antara rapat-rapat yang sunyi itu, masih tersisa harapan – bahwa suatu saat nanti, sebuah rapat baru akan kembali mengubah sejarah. (**)

Previous Post

Perkuat Sinergi Pemda -TNI, Olahraga Air Jadi Wadah Bentuk Karakter Generasi Muda

Next Post

Polairud Polda Malut Minta Masyarakat Segera Melaporkan Jika Ada Aktivitas Bom Ikan

Next Post
Ditpolairud Polda Malut Tingkatkan Patroli Selama Ramadan

Polairud Polda Malut Minta Masyarakat Segera Melaporkan Jika Ada Aktivitas Bom Ikan

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Recent Posts

  • Tim SAR Gabungan Maksimalkan Pencarian Andres, Pria Asal Sulut yang Hilang saat Melaut
  • Sembilan Bulan Gaji Belum Diterima, Para KAUR Tagih Kades Tawabi
  • Polairud Polda Malut Minta Masyarakat Segera Melaporkan Jika Ada Aktivitas Bom Ikan
  • Rapat – Sebuah Catatan Tentang Revolusi yang Tak Bergemuruh
  • Perkuat Sinergi Pemda -TNI, Olahraga Air Jadi Wadah Bentuk Karakter Generasi Muda

Recent Comments

Tidak ada komentar untuk ditampilkan.
  • Tentang Kami
  • Redaksi
  • Pedoman Media Siber
  • Privacy Police

No Result
View All Result
  • Berita
    • Advertorial
    • Olahraga
    • Opini
    • Promo News
  • Kota
    • Ternate
    • Tidore
  • Daerah
    • Halmahera Barat
    • Halmahera Selatan
    • Halmahera Tengah
    • Halmahera Timur
    • Halmahera Utara
    • Morotai
    • Sofifi
    • Sula
    • Taliabu
  • Politik
  • Ekonomi
  • Hukrim
  • Nasional
  • Nusantara
  • Video