Publikmalutnews.com
Senin, Oktober 27, 2025
  • Berita
    • Advertorial
    • Olahraga
    • Opini
    • Promo News
  • Kota
    • Ternate
    • Tidore
  • Daerah
    • Halmahera Barat
    • Halmahera Selatan
    • Halmahera Tengah
    • Halmahera Timur
    • Halmahera Utara
    • Morotai
    • Sofifi
    • Sula
    • Taliabu
  • Politik
  • Ekonomi
  • Hukrim
  • Nasional
  • Nusantara
  • Video
No Result
View All Result
  • Berita
    • Advertorial
    • Olahraga
    • Opini
    • Promo News
  • Kota
    • Ternate
    • Tidore
  • Daerah
    • Halmahera Barat
    • Halmahera Selatan
    • Halmahera Tengah
    • Halmahera Timur
    • Halmahera Utara
    • Morotai
    • Sofifi
    • Sula
    • Taliabu
  • Politik
  • Ekonomi
  • Hukrim
  • Nasional
  • Nusantara
  • Video
No Result
View All Result
Publikmalutnews.com
No Result
View All Result
Home Daerah

Proyek Jalan Trans Halmahera: Konektivitas Wilayah atau Jalur Emas Tambang Nikel

Muhlis Idrus by Muhlis Idrus
Oktober 27, 2025
in Daerah
0
Proyek Jalan Trans Halmahera: Konektivitas Wilayah atau Jalur Emas Tambang Nikel

SOFIFI — Pemerintah Provinsi Maluku Utara merancang pembangunan Jalan Trans Halmahera (atau Trans Kie Raha) sebagai bagian dari upaya mempercepat konektivitas dan mendorong pertumbuhan ekonomi daerah. Namun, langkah ambisius ini juga menuai sorotan publik karena dinilai sarat kepentingan politik dan industri tambang.

Jalan Trans Halmahera yang menghubungkan Ekor–Subaim menuju Kobe di Pulau Halmahera yang digadang-gadang sebagai upaya memperkuat konektivitas antarwilayah. Namun, jika dilihat lebih dekat, sebagian besar trase jalan Trans Halmahera justru melintasi kawasan industri dan konsesi tambang nikel berskala besar, terutama di Halmahera Tengah dan Halmahera Timur.

Jalur seperti Ekor–Kobe–Buli berada sangat dekat dengan lokasi-lokasi tambang dan smelter milik perusahaan nasional dan asing juga perushaan milik Gubernur Maluku Utara, PT. Karya Wijaya. Secara geografis, jalan ini menjadi urat nadi logistik tambang, bukan jalur mobilitas masyarakat desa.

Dengan kata lain, infrastruktur yang seharusnya berfungsi sosial kini berubah menjadi infrastruktur ekonomi yang melayani kepentingan industri nikel. Pemerintah menggunakan narasi pemerataan pembangunan untuk menutupi kenyataan bahwa manfaat ekonomi terbesar justru mengalir ke sektor tambang, sementara masyarakat lokal hanya menjadi penonton di tanah sendiri.

Kondisi ini memunculkan pertanyaan di tengah masyarakat: apakah pembangunan ini benar-benar ditujukan untuk kepentingan publik, atau justru lebih menguntungkan sektor industri tambang yang kini terus berkembang di Halmahera?

Proyek yang memiliki panjang kurang lebih puluhan kilometer ini dirancang bakal dikerjakan secara bertahap melalui kolaborasi antara Pemerintah Provinsi Maluku Utara dan Pemerintah Kabupaten.

Berdasarkan pernyataan sebelumnya Gubernur Maluku Utara, Sherly Tjoanda, mengatakan bahwa pengerjaan jalan akan dimulai dari dua arah.

“Provinsi akan mulai dari kilometer 9 hingga 15, sementara Kabupaten Halmahera Tengah akan membangun dari Kobe ke arah Ekor. Jadi kita akan bertemu di tengah,” ujar Sherly.

“Selain membuka akses transportasi, proyek ini juga akan menciptakan simpul-simpul ekonomi baru di sepanjang jalur Trans Halmahera,” tambahnya.

Meski begitu, Sherly menegaskan bahwa pelaksanaan proyek baru akan dimulai setelah persoalan lahan rampung diselesaikan. Pemerintah Provinsi Maluku Utara telah menyiapkan anggaran antara Rp20 miliar hingga Rp40 miliar melalui APBD Perubahan 2025, yang akan dikelola oleh Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Maluku Utara.

Menangapi rencana Gubernur Sherly Tjoanda, Manager Advokasi Tambang WALHI-Malut, Mubalik Tomagola, saat dimintai tanggapan Senin (27/10/2025) menyatakan bahwa Proyek Jalan Trans Halmahera sarat dengan kepentingan politik.

“Bagi kami tak lain dari Sherly sebetulnya telah memperlihatkan watak pembangunan yang eksploitatif dan sarat dengan kepentingan politik, tidak adil, dan cenderung diskriminatif,” ucapnya.

Kata Mubalik, ambisi politik Gibernur Sherly jelas mengorbankan kepentingan warga. Kenapa? pemerintah daerah harusnya menjadikan Trans Halmahera sebagai solusi warga tempatan untuk mempermudah akses atas sumber-sumber kehidupan mereka.

“Bagi kami, proyek seperti ini tidak berdampak langsung pada pertumbuhan ekonomi warga. Karna yang terlihat ini semacam pesanan oligarki tambang,” tuturnya.

Mubalik bilang, alih-alih pembangunan sebagai jalan menuju kesejahteraan rakyat. Sherly hanya menjadikan proyek Trans Halmahera sebagai konten politik dan gimmck belakang, Lebih-lebihnya memperlancar investasinya.

“Mungkin dengan sederhana agar ibu gub paham bahwa pembangunan sejati bukan tentang seberapa panjangnya jalan, tetapi tentang seberapa banyak warga yg sehat, seberapa banyak anak2 yang bisa merasakan sekolah,” tandasnya.

Senada, Astuti Kilwow, akademisi dari Universitas Khairun (Unkhair) Ternate, menyoroti proyek Jalan Trans Halmahera yang saat ini tengah digenjot pemerintah provinsi. Menurutnya, proyek tersebut kerap dipromosikan sebagai langkah strategis untuk memperkuat konektivitas antarwilayah dan menjawab kebutuhan masyarakat, namun pada kenyataannya masih jauh dari cita-cita tersebut.

Ia mencontohkan, pada era 1990-an ketika pembangunan jalan lintas pertama di Halmahera dimulai dari wilayah Halmahera Barat menuju Halmahera Utara, jalur yang dibuka justru lebih banyak melewati kawasan investasi besar.

“Jalan yang dibangun waktu itu hanya melewati jalur-jalur yang ada investasi, seperti perusahaan kayu Barito dan perusahaan tambang emas NHM,” jelasnya.

Kata Astuty, pola seperti ini menunjukkan bahwa pembangunan infrastruktur di Halmahera sejak dulu lebih berpihak pada kepentingan korporasi ketimbang masyarakat. Padahal, seharusnya jalan-jalan strategis dibangun untuk menghubungkan kawasan pemukiman dan sentra produksi rakyat, bukan sekadar menunjang aktivitas industri besar.

“Bahkan tahun 2000, sampai sekarang jalan lintas yang bagus ada di Halmahera Utara, dan kita tahu bersama di Halut ada gold mining atau tambang emas yang beroperasi,” ungkapnya.

Astuty Kilwow menilai, arah pembangunan infrastruktur di Maluku Utara masih belum beranjak dari pola lama yang berpihak pada kepentingan modal besar. Ia menegaskan, sejak lama dirinya telah mengingatkan bahwa proyek-proyek pembangunan, baik di darat maupun laut, cenderung lebih diproyeksikan untuk menopang kepentingan investasi padat modal ketimbang kebutuhan masyarakat luas.

“Dari dulu saya sudah sampaikan bahwa proyek pembangunan infrastruktur yang dilakukan pemerintah, baik darat maupun laut, banyak diproyeksikan untuk kepentingan investasi padat modal,” ujar Astuty.

Menurut akademisi Universitas Khairun Ternate itu, Pemerintah Provinsi Maluku Utara saat ini tampak melanjutkan tradisi lama yang diwariskan dari pemerintahan sebelumnya membangun infrastruktur dengan orientasi utama pada kepentingan industri, bukan kesejahteraan rakyat.

Astuty Kilwow bilang proyek Jalan Trans Halmahera sejatinya bukan semata-mata proyek pembangunan untuk rakyat, melainkan bagian dari strategi besar untuk memuluskan rantai pasokan nikel di Pulau Halmahera.

Ia sebut, pembangunan jalan tersebut menjadi cerminan bagaimana oligarki nikel mulai masuk ke ranah politik demi memastikan kelancaran distribusi dan produksi industri tambang mereka.

“Proyek Jalan Trans Halmahera adalah rencana untuk memuluskan rantai pasokan nikel di Pulau Halmahera. Inilah cerminan bagaimana oligarki nikel telah masuk ke ranah politik untuk memuluskan jalur distribusi dan produksi mereka,” ujar Astuty tegas.

Astuty Kilwow menegaskan, apabila pemerintah benar-benar ingin membuktikan bahwa kebijakan pembangunan dilakukan untuk kepentingan masyarakat, maka langkahnya tidak boleh berhenti pada pembangunan infrastruktur semata. Menurutnya, komitmen itu baru bisa dirasakan nyata jika pemerintah juga berani menutup tambang-tambang bermasalah yang beroperasi di sekitar kawasan pertanian dan perkebunan warga.

“Jika pemerintah klaim bahwa kebijakan mereka benar-benar untuk kepentingan masyarakat, seharusnya bukan hanya membangun jalan, tetapi juga menutup tambang-tambang yang bermasalah dan beroperasi di sekitar lokasi pertanian serta perkebunan masyarakat,” tegas Astuty.

Ia mengungkapkan, aktivitas pertambangan di Halmahera telah menimbulkan kerusakan serius terhadap lingkungan. Tak hanya di daratan, ekosistem laut pun ikut tercemar akibat limbah industri nikel yang tidak terkendali.

“Tambang itu tidak hanya merusak ekosistem di daratan saja, tapi laut juga ikut tercemar. Dampaknya sudah dirasakan, seperti di Wasile, di mana lahan sawah warga kini tidak lagi subur untuk ditanami karena area di sekitar sawah mereka sudah diberikan izin pertambangan nikel,” ujarnya.

Astuty Kilwow menilai kebijakan pembangunan di Maluku Utara, khususnya di wilayah Halmahera Tengah dan Halmahera Utara, telah menunjukkan pola ekstraktivisme kebijakan, di mana negara justru memfasilitasi industri tambang dengan menggunakan dana publik.

Menurutnya, fenomena tersebut tampak jelas dari cara infrastruktur publik difungsikan untuk kepentingan korporasi besar, bukan untuk masyarakat. Di Halmahera Tengah, aktivitas industri tambang bahkan telah menguasai ruang publik. Alat-alat berat milik perusahaan tambang beroperasi di jalan-jalan umum, termasuk di jalur lintas utama yang seharusnya digunakan untuk mobilitas warga.

“Di Halmahera Tengah juga sama, alat-alat berat beroperasi di jalan-jalan publik seperti jalan lintas,” tutupnya.

Untuk diketahui, berdasarkan data terbaru di MODI (Minerba One Data Indonesia) milik Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), proyek jalan yang digadang-gadang sebagai simbol konektivitas Maluku Utara ini ternyata melintasi kawasan Izin Usaha Pertambangan (IUP) milik Gubernur Maluku Utara sendiri.

Data di laman resmi MODI ESDM menunjukkan, perusahaan yang berafiliasi dengan Gubernur tidak hanya beroperasi di Pulau Gebe, tetapi juga memperluas aktivitasnya hingga ke wilayah lain Halmahera Tengah. Hal itu diperkuat dengan terbitnya izin operasi pertambangan baru yang tercantum di situs resmi ESDM.

Dalam dokumen tersebut, tercantum jelas nama Komisaris Gregory Dhana N, Komisaris Utama Fina Rusiyanti dan Direktur Bharat Kumar Jain dan Direktur Utama Josef Humato dengan keterangan bahwa mereka resmi menjabat mulai 19 Juli 2025. Kemudian dokumen tersebut tertera pemegang saham mayoritas atas perusahan itu adalah Sherly Tjoanda.**

Previous Post

Kasus TPPO Halmahera Utara Bakal Dilaporkan ke Bareskrim Polri

Next Post

Kapolda Maluku Utara Hadiri Deklarasi Forum Keberagaman Nusantara di Kedaton Ternate

Next Post
Kapolda Maluku Utara Hadiri Deklarasi Forum Keberagaman Nusantara di Kedaton Ternate

Kapolda Maluku Utara Hadiri Deklarasi Forum Keberagaman Nusantara di Kedaton Ternate

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Recent Posts

  • LPP Tipikor Mengada – Ngada, Arif : ” “Hoax ” Tanpa Data Yang Benar
  • Oknum Guru P3K Di Halmahera Utara Setubuhi Anak Dibawah Umur
  • Kapolda Maluku Utara Hadiri Deklarasi Forum Keberagaman Nusantara di Kedaton Ternate
  • Proyek Jalan Trans Halmahera: Konektivitas Wilayah atau Jalur Emas Tambang Nikel
  • Kasus TPPO Halmahera Utara Bakal Dilaporkan ke Bareskrim Polri

Recent Comments

Tidak ada komentar untuk ditampilkan.
  • Tentang Kami
  • Redaksi
  • Pedoman Media Siber
  • Privacy Police

No Result
View All Result
  • Berita
    • Advertorial
    • Olahraga
    • Opini
    • Promo News
  • Kota
    • Ternate
    • Tidore
  • Daerah
    • Halmahera Barat
    • Halmahera Selatan
    • Halmahera Tengah
    • Halmahera Timur
    • Halmahera Utara
    • Morotai
    • Sofifi
    • Sula
    • Taliabu
  • Politik
  • Ekonomi
  • Hukrim
  • Nasional
  • Nusantara
  • Video