Kekerasan seksual terhadap anak bukan lagi hal tabu, ia sudah menjadi realita yang membusuk di depan mata.
Pada 4 Mei 2025, seorang anak perempuan berusia 13 tahun di Desa Lelilef Waibulan, Kecamatan Weda Tengah, diduga menjadi korban pemerkosaan oleh tiga pria yang bekerja di perusahaan tambang.
Para pelaku mengiming-imingi korban dengan uang sebesar Rp500.000 setelah menerima gaji dari perusahaan.
Ketiganya telah diamankan oleh Polres Halteng dan dijerat dengan pasal-pasal dalam UU Perlindungan Anak, dengan ancaman hukuman penjara 10 hingga 15 tahun. (Haliyora id, 7/5/2025)
Sistem yang Gagal Lindungi Anak
Kejadian ini bukan kasus tunggal. Ia adalah gejala dari sistem sosial yang gagal. Gagal mendidik. Gagal menjaga. Gagal menghukum dengan efek jera.
Dalam lingkungan industri tambang yang penuh arus uang dan tenaga kerja asing-lokal, kontrol sosial lemah. Pendidikan moral sering terpinggirkan. Banyak pendatang membawa gaya hidup bebas, sementara warga sekitar tergoda oleh uang tanpa benteng iman. Yang jadi korban? Anak-anak, generasi yang belum sempat tumbuh dewasa tapi sudah harus memikul trauma seumur hidup.
Kita tak bisa lagi membungkusnya dengan narasi “ini aib keluarga”. Ini krisis sosial, darurat moral, dan bencana generasi.
Diam Adalah Kekerasan Kedua
Lebih menyakitkan dari kejahatan itu sendiri adalah diamnya masyarakat dan lemahnya negara. Kita sudah terlalu sering mendengar: “Jangan ribut, nanti malu”. Tapi kita lupa: diam adalah bentuk kekerasan kedua. Bahkan lebih membunuh dari yang pertama.
Jika satu anak jadi korban hari ini, dan kita diam, maka esok akan muncul sepuluh korban baru. Karena pelaku merasa aman. Karena sistem tak berubah. Karena tak ada yang bersuara. kenapa ini terus terjadi? Kenapa anak-anak terus menjadi korban? Kenapa sistem tak kunjung melindungi?
Jawabannya karena kita hidup dalam sistem kapitalis. Sistem yang memuja materi dan mengabaikan moralitas.
Kapitalisme menjunjung nafsu, bukan takwa. Kapitalisme menjadikan kepuasan pribadi sebagai tujuan hidup. Seks bukan lagi bagian dari ikatan suci pernikahan, tapi jadi komoditas diiklankan, dieksploitasi, dan dijual bebas demi cuan.
Efeknya? Budaya permisif dan seksualisasi anak merajalela di media. Film, iklan, dan internet penuh dengan konten yang merangsang syahwat tanpa batas. Masyarakat jadi terbiasa melihat tubuh sebagai objek konsumsi, bukan amanah ilahi.
Kapitalisme ciptakan lingkungan sosial beracun. Di daerah industri seperti tambang, uang menjadi raja. Pendatang berdatangan, kontrol sosial lemah, budaya lokal tergeser. Sementara negara lebih sibuk mengamankan investasi daripada melindungi rakyat.
Akibatnya, Pergaulan bebas meningkat. Miras, narkoba, prostitusi tumbuh subur. Kekerasan terhadap perempuan dan anak jadi hal biasa.
Hukum Kapitalis Lemah, Tawar-Menawar, dan Tak Memberi Efek Jera. Hukum dalam sistem kapitalis lebih sering tunduk pada kepentingan ekonomi dan elit. Pelaku kejahatan seksual kadang “dimediasi”, dihukum ringan, atau dilindungi karena punya jabatan atau uang.
Kembali pada Islam yang Hakiki
Islam tidak hanya hadir sebagai keyakinan pribadi, tapi sebagai sistem yang mengatur hidup secara menyeluruh: dari moral individu, tanggung jawab keluarga, hingga peran negara.
Berikut ini solusi Islam yang menyeluruh dan terstruktur:
1. Bangun Takwa dalam Diri
“Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah perbuatan keji dan suatu jalan yang buruk.” (QS. Al-Isra’: 32)
Islam menanamkan rasa takut kepada Allah (takwa) sebagai benteng utama. Orang yang bertakwa akan menjaga pandangan, menahan hawa nafsu, dan menghormati kehormatan sesama manusia. Pendidikan moral dan akhlak sejak usia dini harus dikembalikan ke tengah masyarakat, bukan hanya tanggung jawab sekolah, tapi juga keluarga dan lingkungan.
2. Keluarga Sebagai Tameng Pertama
“Setiap kalian adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban.” (HR. Bukhari-Muslim)
Orang tua adalah pelindung utama anak. Mereka wajib mendidik anak soal adab berinteraksi. Menjelaskan batas aurat dan marwah sejak dini. Mengajarkan keberanian untuk berbicara ketika merasa tidak aman. Orang tua harus kembali memahami peran sebagai murabbi (pendidik) dan penjaga, bukan hanya pencari nafkah.
3. Negara sebagai Penegak Keadilan Syariah
“Pemimpin adalah perisai. Rakyat berlindung di baliknya dan berperang bersamanya.” (HR. Muslim)
Negara tidak cukup hanya dengan UU Perlindungan Anak. Islam menempatkan pelaku pemerkosaan anak sebagai pelaku kejahatan besar yang, bila terbukti dengan syarat syar’i, dapat dijatuhi hukuman hudud (qadzaf atau rajam/sanksi lainnya), agar menjadi efek jera bagi masyarakat.
Negara harus hadir dengan sistem hukum Islam yang adil dan memberi efek jera. Pengawasan ketat terhadap industri besar. Penegakan akhlak publik bukan sekadar hukum formal.
4. Masyarakat: Pilar Amar Ma’ruf Nahi Munkar
“Kalian adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar.” (QS. Ali Imran: 110)
Dalam Islam, masyarakat tidak boleh pasif. Harus ada peran kolektif untuk mencegah kemunkaran dan membela korban. Hidupkan budaya saling menjaga dan menasihati. Dorong majelis ilmu membahas isu sosial, bukan hanya fikih ibadah. Dorong tokoh agama untuk bicara tegas terhadap kezaliman.
Kembalilah pada Islam yang Menjaga. Halteng hari ini adalah peringatan bagi kita semua. Tambang mungkin membawa kekayaan materi, tapi jika kita kehilangan marwah dan perlindungan terhadap anak, maka sejatinya kita sedang menggali neraka di atas tanah sendiri. Islam hadir bukan hanya untuk mengatur ibadah, tapi untuk menjaga kehormatan manusia. Saatnya kita kembali.
Kembali pada Islam sebagai jalan hidup. Kembali menjadikan anak-anak sebagai amanah, bukan korban. Kembali menjadikan masyarakat sebagai pelindung, bukan penonton. Kembali menjadikan negara sebagai pelaksana hukum Allah, bukan pelindung kepentingan korporat. (**)