Penangkapan pelaku bom ikan di perairan Dusun Tuamoda, Halmahera Selatan, beberapa hari lalu kembali membuka luka lama: praktik perusakan laut yang terus berulang, di tengah lemahnya pengawasan dan rendahnya kesadaran kolektif.
Ironisnya, dari enam pelaku yang terlibat, salah satunya merupakan anggota Badan Permusyawaratan Desa (BPD)—lembaga yang seharusnya melindungi kepentingan masyarakat, bukan melukai masa depan mereka.
Ledakan bom bukan hanya menghancurkan ikan, tapi juga merusak terumbu karang, ekosistem dasar laut, dan rantai kehidupan yang menopang nelayan-nelayan kecil. Ini bukan sekadar pelanggaran hukum, ini kejahatan terhadap masa depan.
Masalah yang Lebih Dalam dari Sekadar Penangkapan
Kita terlalu lama menganggap illegal fishing sebagai tindakan kriminal biasa. Padahal, ini adalah gejala dari ketimpangan yang lebih besar. Banyak pelaku bom ikan bukan nelayan sejati, melainkan “aktor bayangan” yang mengejar keuntungan cepat.
Di balik mereka bisa saja ada penyandang dana, pemasok bahan peledak, atau pasar gelap yang menampung hasil tangkapan haram.
Di sisi lain, masyarakat pesisir kita sering tidak dibekali pengetahuan tentang pentingnya menjaga laut. Minimnya edukasi ekologis membuat sebagian orang memandang laut sebagai ruang bebas eksploitasi, bukan ruang hidup bersama. Kita tidak bisa terus menyalahkan mereka tanpa menyediakan jalan keluar.
Miris, karena praktik perusakan ini telah berlangsung selama puluhan tahun, namun kita masih saja gagap menghadirkan solusi yang menyentuh akar.
Tindakan Nyata yang Harus Dilakukan
1. Penegakan hukum yang menyentuh akar
Pelaku destructive fishing dapat dikenakan sanksi sesuai Pasal 84 Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009, dengan ancaman pidana penjara hingga 6 tahun dan denda maksimal Rp1,2 miliar.
Namun penegakan hukum tak boleh berhenti di pelaku lapangan. Diperlukan pendekatan struktural yang memutus rantai pasokan bahan peledak, mengusut penyandang dana, dan menindak pelaku pasar gelap yang menjadi muara dari hasil tangkapan haram ini.
2. Penguatan desa pesisir sebagai benteng perlindungan laut
Desa-desa di wilayah pesisir perlu diperkuat dengan kewenangan membuat peraturan lokal. DKP Halmahera Selatan perlu hadir aktif untuk mendampingi lahirnya Peraturan Desa (Perdes) tentang larangan destructive fishing, zona larang tangkap, serta pengelolaan sumber daya berbasis komunitas. Pendirian dan pelatihan Kelompok Masyarakat Pengawas (Pokmaswas) harus menjadi prioritas dan didukung dengan logistik, pelatihan, serta pengakuan formal dari pemerintah.
3. Revitalisasi kearifan lokal sebagai payung sosial-etik
Tak sedikit masyarakat pesisir Halmahera Selatan yang hidup dalam ruang adat yang masih hidup.
Sasi laut, larangan musiman, atau tabu adat bisa dihidupkan kembali sebagai cara sosial untuk menjaga laut. Dinas Kelautan dan Perikanan harus membuka ruang kerja sama dengan tokoh adat, tokoh agama, dan lembaga adat lokal, memperkuat mereka sebagai mitra dalam perlindungan laut. Ini penting, sebab hukum negara kadang datang telat, sementara hukum adat hidup dalam jantung masyarakat.
4. Alternatif ekonomi yang berkelanjutan dan adil
Melarang bom tanpa memberi jalan keluar adalah tindakan yang hanya menggeser masalah. DKP perlu mendorong dan memfasilitasi budidaya rumput laut, ikan kerapu, tiram mutiara, maupun ekowisata berbasis komunitas. Bantuan alat tangkap ramah lingkungan, akses permodalan, serta pelatihan teknis menjadi jalan strategis yang harus disiapkan. Kemitraan dengan koperasi, BUMDes, dan sektor swasta bisa memperkuat rantai nilai yang adil bagi nelayan.
5. Edukasi ekologis lintas generasi
Perubahan tidak cukup dengan regulasi, ia butuh transformasi cara pandang. DKP bersama dinas pendidikan, KUA, dan organisasi masyarakat sipil bisa menginisiasi literasi laut di sekolah-sekolah, pengajian, kelompok pemuda, dan forum adat. Terumbu karang bukan batu mati, tapi rumah bagi kehidupan. Pengetahuan ini harus menjadi bagian dari memori kolektif generasi muda pesisir.
6. Sistem pengawasan dan pelaporan kolaboratif
Patroli laut tidak bisa hanya mengandalkan kapal pemerintah. Diperlukan sistem berbasis masyarakat dengan pelaporan cepat (WhatsApp/SMS Center), koordinasi dengan Polairud, dan pembentukan peta wilayah rawan destructive fishing. Di sinilah DKP perlu memainkan peran sebagai dirigen kolaborasi antarinstansi.
7. Digitalisasi dan satu data pesisir
DKP Halmahera Selatan dapat memulai inisiatif “Satu Data Pesisir” yang memuat informasi zonasi laut, data potensi dan kerusakan ekosistem, serta distribusi program. Sistem ini akan membantu pengambilan keputusan yang lebih partisipatif dan tepat sasaran.
Harus Ada Tekad Bersama
Bom ikan adalah gejala dari sistem yang timpang: kemiskinan struktural, ketimpangan pembangunan, lemahnya pengawasan, dan rendahnya literasi laut. Ini bukan semata kesalahan individu. Tapi membiarkannya terus terjadi adalah bentuk kegagalan kolektif.
Kita tidak bisa berharap laut tetap subur jika yang kita berikan padanya hanyalah ledakan dan keserakahan. Kita harus mengubah cara pandang kita terhadap laut—bukan sebagai ladang eksploitasi, tetapi sebagai ruang hidup yang harus dirawat. Dari laut, kita hidup; dari laut pula kita harus belajar untuk bersyukur dan menjaga.
Solusi ada jika kita mau bergerak bersama. Dari desa, dari masyarakat, dari adat, dan dari keberanian untuk mengubah sistem yang sudah terlalu lama membiarkan laut kita terluka. (**)
Discussion about this post