Lahirnya UU nomor 6 tahun 2014 tentang Desa telah memberikan keleluasan kepala desa untuk menumbuhkan, memperkuat dan mengembangkan prakarsa lokal.
Semangat semi otonomi dan kemandiriannya. UU Nomor 6 Tahun 2014 telah memberikan kewenangan yang lebih besar kepada desa untuk menyelenggarakan pemerintahan, melaksanakan pembangunan, pembinaan kemasyarakat dan pemberdayaan masyarakat.
Setelah berlakunya UU desa membuat desa bergeser dari wilayah administrasi di bawah kabupaten menjadi entitas yang berhak untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan sendiri termasuk di dalam pengelolaan keuangan dan kekayaan milik desa.
Kepala desa merupakan jabatan pemerintahan yang dipilih oleh warga desa yang memenuhi syarat sebagai pemilih melalui proses demokrasi atau pemilihan kepala desa, sementara pengangkatan dan pelantikannya dialkukan oleh Bupati/Walikota berdasarkan hasil Pilkades.
Sementara dalam Pasal 7 UUD 1945 tentang pembatasan masa jabatan presiden dan wakil presiden yang merupakan referensi dari seluruh pembatasan masa jabatan eksekutif baik ditingkat pusat maupun ditingkat daerah maka akan menciptakan harmonisasi keadilan dalam ketatanegaraan Indonesia. Undang-Undang nomor 22/1999 menghadirkan nuansa baru bagi pemerintahan daerah dan pemerintahan desa.
Karena melimpahkan kewenangan yang sangat luas kepada daerah untuk mengembangkan potensinya, sejumlah pihak menyebut undang-undang ini sangat demokratis, bahkan liberal. Jika dibandingkan dengan UU nomor 5 Tahun 1974, banyak kemajuan di dalamnya. Menanggapi besarnya kewenangan tersebut, sebuah media massa bahkan menyebut adanya “revolusi” pemerintahan daerah.
Selain menjadi sarana menguatkan otonomi desa, undang-undang ini juga berusaha melemahkan kekuasaan dan patronase kepala desa. UU No. 22/1999 menetapkan bahwa masa jabatan kepala desa adalah 5 tahun (boleh dipilih kembali 1 kali masa jabatan selanjutnya).
Ketetapan demikian bertujuan supaya kepala desa tidak kembali menjadi „raja kecil‟ di level desa Hal serupa berlaku juga pada UndangUndang No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang mengatur bahwa masa jabatan kepala desa adalah 6 tahun (boleh dipilih kembali 1 kali masa jabatan selanjutnya. UU No. 6/2014 menyebutkan bahwa kepala desa yang telah menjalankan tugasnya selama satu kali periode 6 tahun boleh terpilih kembali dua)l kali masa jabatan selanjutnya.
Dengan demikian, apabila undang-undang yang terbit pasca reformasi tersebut menggariskan bahwa masa jabatan kepala desa adalah 6 tahun, maka seseorang boleh mempertahankan posisinya selaku pemimpin lokal selama 18 tahun.
Muatan dalam UU nomor 6/2014 tidak jauh berbeda dengan apa yang telah diatur dalam UU nomor 5/1979 bahwa masa jabatan kepala desa selama-lamanya adalah 16 tahun atau dua periode, di mana setiap periodenya berjangka waktu 8 tahun. Bila merujuk pada Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, maka UU nimor 6/2014 mengandung kejanggalan. UU Nomor 23/2014 menyebutkan bahwa masa jabatan kepala daerah adalah lima tahun serta boleh terpilih kembali dalam jabatan yang sama hanya untuk satu kali masa jabatan. jika memuat filosofi dan prinsip yang sama, maka masa jabatan kepala daerah dalam UU No. 23/2014 dan masa jabatan kepala desa dalam UU No. 6/2014 juga semestinya disamakan.
Apabila UU nomor 23/2014 menggariskan bahwa masa jabatan kepala daerah adalah 5 tahun (boleh dipilih kembali 1 kali masa jabatan selanjutnya), maka UU Nomor 6/2014 menetapkan hal serupa bagi kepala desa.
Terbitnya UU No. 6/2014 berpotensi mengundang konflik atau problematika politik dan sosial di level desa, antara lain memanasnya perebutan kursi kepala desa sebagaimana pemilihan kepala daerah (pilkada). Boleh jadi proses-proses politik kian marak dengan menjamurnya money politic. Peran pemimpin tertinggi di komunitas berbasis ruang tersebut cukup strategis, dikarenakan pada dasarnya perebutan ditujukan bukan sekadar pada jabatan kepala desa, melainkan nilai nominal dan kepastian Anggaran Dana Desa (ADD).
Ditambah lagi, peluang masa jabatan sampai tiga periode 18 tahun, setiap periode 6 tahun) mendorong figur-figur potensial di desa memperebutkan jabatan kepala desa berikut perangkatnya. Sehingga, kecenderungan demikian pada taraf tertentu bisa mengganggu harmoni sosial di wilayah perdesaan.
Sedang ramai pembahasan mengenai kepala desa (kades) di Indonesia yang menuntut perpanjangan masa jabatan menjadi sembilan tahun dan dapat dipilih kembali maksimal dua periode. Tuntutan itu menjadi perdebatan. Ada pihak yang tak setuju karena menganggap hal tersebut kemunduran demokrasi.
Berdasarkan pemikiran di atas, norma yang diatur dalam UU No. 6/2014 harus dikembalikan kepada konstitusi. Sehingga, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945) mesti menjadi rujukan atau pedoman atas ditetapkannya suatu norma dalam undang-undang tersebut. Dalam konteks ini, bila penetapan masa jabatan kepala desa cocok dengan apa yang terkandung dalam UUD NRI 1945, maka norma tersebut dinilai konstitusional.
Begitu pula sebaliknya, jka penetapan masa jabatan kepala desa kurang sesuai atau bahkan bertolak belakang dengan muatan dalam UUD NRI 1945, maka norma tersebut dianggap inkonstitusional. Padahal, setiap norma dalam peraturan perundang-undangan selayaknya mendukung dan menguatkan konstitusi.
Di sinilah pentingnya kesesuaian antara muatan dalam UUD NRI 1945 dan berbagai aturan legal di bawahnya. Jabatan kepala desa sebaiknya merujuk pada periodisasi jabatan politik yang telah ditetapkan dalam UUD NRI 1945. Sehingga, muncul kesepahaman arah politik hukum berbagai jenjang atau tingkatan dalam hierarki perundang-undangan. (**)
Penulis adalah Dewan Pembina Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN) Provinsi Maluku Utara
Discussion about this post