Oleh: Badrun Ahmad, ST,MT
Dosen Universitas Khairun Ternate
Kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) saat ini menuai pro dan kontra publik. Publik kontra karena kenaikan harga BBM menjadi pemicu naiknya harga kebutuhan lain yang akan berdampak terhadap hajat hidup orang banyak.
Sebagian lagi pro dengan alasan selama ini kita menikmati BBM bersubsidi yang diambil dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) yang konon katanya naik tiga kali lipat, sehingga dianggap menjadi beban negara.
Terlepas dari pro dan kontra saat ini, bahan bakar minyak merupakan bahan bakar fosil yang termasuk kategori sumber energi tidak dapat diperbahrui.
Suatu saat ketersediaan bahan bakar fosil (baca: BBM) ini akan habis, sehingga tidak mungkin kita bergantung pada bahan bakar fosil ini selamanya. Polusi yang dihasilkan dari pemakaian BBM juga menjadi masalah serius terhadap kesehatan dan lingkungan.
Banyak penelitian terhadap pengaruh paparan polusi kendaraan terhadap kesehatan. Pengaruhnya antara lain menyebabkan gangguan pernapasan seperti infeksi saluran pernapasan akut (ISPA), masalah jantung, tekanan darah, stroke, dan masalah kejiwaan.
Penelitian yang dilakukan Gangadevi et al. (2018) menemukan bahwa pada saat kondisi kendaraan hidup stasioner memberikan emisi gas buang yang lebih besar dibandingkan saat kendaraan kondisi berjalan. Saat pembakaran tidak sempurna di dalam ruang bakar, tidak seluruh gas hidrokarbon teroksidasi, karena terdapat hidrokarbon (HC) dan gas karbon monoksida (CO) sisa.
Semakin tinggi karbon monoksida (CO) berdampak lebih membahayakan dibandingkan dengan hidrokarbon (HC).
Jika Karbon monoksida (CO) terhirup ke dalam paru-paru maka akan ikut peredaran darah dan akan menghalangi masuknya oksigen yang dibutuhkan oleh tubuh. Hal ini dapat terjadi karena gas CO bersifat racun, ikut bereaksi secara metabolis dengan darah (hemoglobin).
Menghirup karbon monoksida dapat menyebabkan sakit kepala, pusing, muntah, dan mual. Paparan karbon monoksida tingkat sedang dan tinggi dalam jangka waktu yang lama juga dikaitkan dengan peningkatan risiko penyakit jantung.
Penelitian lain yang dilakukan Afif Khan dan Susanna Roberts berjudul ‘exploration of NO2 dan PM2.5 air pollution and mental health problems’ menemukan bahwa ada hubungan erat antara polusi lingkungan dengan peningkatan risiko gangguan kejiwaan, antara lain gangguan bipolar, skizofrenia, gangguan kepribadian, dan depresi.
Polusi udara akibat dari pemakaian BBM juga dapat meningkatkan pemanasan global. Pemanasan global merupakan fenomena peningkatan suhu rata-rata atmosfer bumi.
Saat ini, pemanasan global terus terjadi dan meningkat setiap tahunnya. Suhu rata-rata permukaan di bumi meningkat 1,5 derajat celcius sejak akhir abad 19. Dampak lain adalah asap kendaraan bermotor menghasilkan hujan asam yang menghambat pertumbuhan akar tanaman dan berdampak buruk terhadap ekosistem.
Solusi yang Ditawarkan
Solusinya adalah menggunakan energi alternatif yang lebih ramah lingkungan. Salah satu contohnya adalah penggunaan mobil dan motor listrik yang energinya dari solar cell (listrik tenaga matahari).
Kendaraan tenaga surya tidak membakar bahan bakar yang artinya tidak menghasilkan emisi. Tidak ada gas rumah kaca yang dihasilkan dari kendaraan tenaga surya.
Energi matahari akan terus menyinari bumi dalam jumlah besar yang terbatas, sehingga menjadi sumber energi gratis yang bisa dikonsumsi oleh siapa saja dan menggantikan energi fosil yang jumlahnya terbatas.
Bahan bakar lain seperti bioetanol. Bahan bakar ini memiliki karakteristik mudah menguap, mudah terbakar, larut dalam air, tidak beracun, dan tidak berdampak negatif pada lingkungan.
Bioetanol diperoleh dengan distilasi hasil fermentasi gula dari sumber karbohidrat seperti tanaman tebu, jagung, dan buah-buahan lain. Semua tanaman ini dapat ditemukan dalam kehidupan sehari-hari.
Bahan bakar ramah lingkungan berikutnya adalah biodiesel. Bahan bakar ini adalah bahan bakar yang berasal dari minyak nabati atau lemak hewani melalui proses kimia yaitu esterifikasi. Biodiesel dapat dibuat dari bahan baku seperti minyak kelapa sawit, minyak buah jarak, dan minyak kedelai.
Namun saat ini, pembuatan kendaraan dengan bahan bakar ramah lingkungan yang lebih murah masih dalam tahap pengembangan.
Perlu dukungan pemerintah yang lebih serius dalam berkontribusi mendorong perguruan tinggi atau lembaga penelitian melakukan penelitian mendalam terkait energi ramah lingkungan ini, sehingga ke depan diharapkan dapat diproduksi secara massive. (**)
Discussion about this post