Adanya prosesi pengibaran bendera merah putih di monumen tugu bendera di Pantai Tanjung Mafutabe Mareku, Kota Tidore Kepulauan (Tikep), menjadi bukti bahwa masyarakat setempat mengingat peristiwa sejarah pada 18 Agustus tahun 1946.
Pada 18 Agustus tahun 1946, seorang perempuan muda bernama Aminah Sabtu yang kemudian dikenal sebagai nene bendera menjahit dan mengibarkan bendera merah putih bersama pemuda setempat bernama Abdul Kadir mengibarkan bendera di Pantai Tanjung Mafutube Mareku.
Wakil Wali Kota Tidore Kepulauan, Muhammad Sinen yang hadir melukiskan pengibaran bendera di Pantai Mareku pada tanggal 18 Agustus tahun 1946 sebagai peristiwa sejarah yang memiliki nilai tersendiri bagi Tidore Kepulauan, karena bendera merah putih yang dijahit dan dikibarkan di kota itu, merupakan bendera merah putih pertama yang dikibarkan di Indonesia bagian timur, setelah Proklamasi Kemerdekaan RI 17 Agustus tahun 1945.
Dalam penghibaran bendera yang dihadiri langsung Wakil Wali Kota Tidore Kepulauan, Muhammad Sinen dan Wakil Ketua DPRD setempat, Ratna Namsah sekaligus memperingati kemerdekaan atau HUT ke-77 RI di Tanjung Mafutabe Mareku berharap agar setiap tahun prosesi pengibaran bendera pada 18 Agustus tetap berlanjut.
Pengibaran bendera merah putih di wilayah Malut baru dilakukan tahun 1946 setelah dalam Konferensi Malino di Makassar dihadiri Presiden Soekarno serta para sultan dan raja di Indonesia bagian timur memutuskan bergabung dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Ketika Presiden Soekarno memproklamirkan kemerdekaan RI pada 17 Agustus tahun 1945, wilayah di Indonesia Timur yang umumnya merupakan daerah kerajaaan dan kesultanan, termasuk diantaranya Kesultanan Tidore belum diakui Belanda sebagai bagian dari Negara Indonesia yang diproklamirkan pada 17 Agustus.
Seorang tokoh generasi muda Mareku, Tidore Kepulauan, Nurul Asnawia saat berbincang-bincang bersama wartawan Kantor Berita Antara, menceritakan prosesi pengibaran bendera merah putih di monumen tugu bendera, tidak sebatas dimaknai sebagai seremoni mengenang peristiwa sejarah, tetapi, diharapkan sebagai sarana bagi masyarakat untuk meneladani semangat nasionalisme nene bendera dan Abdul Kadir.
Jika di setiap jiwa masyarakat Tidore Kepulauan, khususnya generasi muda terhujam jiwa nasionalisme, maka diharapkan mereka akan selalu tampil membela empat pilar bangsa, yakni Pancasila, UUD 45, NKRI dan Bhineka Tunggal Ika.
Adanya nasionalisme itu juga diharapkan mereka akan selalu berusaha menjauhkan diri dari segala bentuk radikalisme, prilaku anti intoleransi dan berbagai tindakan inkonstitusional lainnya yang dapat merusak persaudaraan dan menghambat pelaksanaan pembangunan di daerah ini.
Magister jebolan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta mengharapkan, adanya prosesi pengibaran bendera merah putih dilakukan Aminah Sabtu yang dikenal sebagai Fatmawati Tidore di monument tugu bendera, sebagai bagian dari peristiwa sejarah pada 18 Agustus 1946 dapat mengelitik kesadaran pemerintah untuk memberikan perhatian kepada daerah Tidore Kepulauan.
“Perhatian yang diharapkan dari pemerintah pusat diantaranya mengabulkan usulan masyarakat Tidore Kepulauan agar Sultan Zainal Abidin Sjah yang memutuskan Kesultanan Tidore bergabung dengan NKRI saat Konferensi di Malino bulan Juli 1946 menjadi Pahlawan Nasional,” tutur perempuan kelahiran 1993 silam.
Kain Ikat Kepala
Nene Bendera mengetahui bahwa Indonesia telah memproklamirkan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945 dan seluruh Kesultanan di Malut bergabung dengan NKRI saat ia mengunjungi keluarganya di Ternate, saat itu, masyarakat setempat ramai membicarakan hal itu.
Nene bendera tidak pernah mengenyam pendidikan formal, juga hanya anak seorang petani, tetapi, bisa memahami bahwa adanya Proklamasi Kemerdekaan ini didalamnya bergabung seluruh Kesultanan di Malut, maka seluruh daerah yang masuk NKRI terbebas dari penjajahan.
Ketika nene bendera kembali ke Tidore, demikian dikisahkan Ibrahim salah seorang warga Mareku, semangat nasionalismenya terus menggelora, sehingga kemudian terinspirasi untuk mengibarkan bendera merah putih sebagai bendera nasional Indonesia.
Awalnya, nene bendera mencari kain putih dan kain merah untuk dijadikan bendera, tetapi karena tidak ada sehingga terpaksa menjahit kain ikat kepala pria berwarna merah dan putih menjadi bendera menggunakan benang serat daun nenas, yang biasanya dimanfaatkan masyarakat jika tidak ada benang kapas.
Bendera itu kemudian diikatkan di sebatang bambu, kemudian bersama seorang pemuda kampung bernama Abdul Kadir mengibarkan di Pantai Mareku, agar bisa disaksikan seluruh warga kampung Mareku, termasuk warga dari kampung lain yang melewati pantai itu.
Mengibarkan bendera merah putih saat itu, menurut Ibrahim, merupakan tindakan yang sangat berbahaya, walaupun Indonesia sudah proklamirkan kemerdekaannya, Belanda masih ada di Tidore dan ingin tetap berkuasa, tetapi karena semangat nasionalisme, nene bendera dan Abdul Kadir tidak perdulikan.
Pengibaran bendera merah putih di Pantai Mareku dalam waktu singkat tersebar ke seantero Tidore dan daerah sekitarnya, termasuk sampai pula ke telinga tentara Belanda dan membuat mereka marah.
Tentara Belanda menangkap nene bendera bersama Abdul Kadir dan menyiksanya di tahanan, namun atas tekanan dari Kesultanan Tidore serta kekhawatiran akan memicu kemarahan rakyat Tidore, maka Belanda membebaskannya keduanya.
Ibrahim masih melihat dampak trauma yang dialami nene bendera akibat penyiksaan di tahanan Belanda, seperti melarang suami dan anak-anaknya mengibarkan bendera merah putih dan memasang umbul-umbul di depan rumah saat peringatan HUT Kemerdekaan RI, karena khawatir akan ditangkap dan disiksa lagi.
Pesan moral nene bendera yang selalu disampaikan kepada anak-anak dan cucunya, termasuk setiap orang menemuinya untuk berbuat baik terhadap orang dan jangan menuntut balasan atas perbuatan baik itu.
Nenek bendera yang wafat pada 21 Juli 2018 dalam usia 91 tahun, selama hidupnya tidak pernah mendapat penghargaan dari pemerintah, tetapi, pemerintah Kota Tidore Kepulauan dan masyarakat setempat tetap memposisikannya sebagai pelaku sejarah yang akan selalu dikenang, dihargai dan diteladani. (**)
Discussion about this post