SELAMA ini kinerja pembangunan sering kali diukur dengan melihat indikator fundamental makroekonomi. Pertumbuhan ekonomi sering kali didewakan sebagai parameter keberhasilannya. Dan hingga saat ini hal itu masih bertahan sebagai patron khususnya oleh masyarakat awam.
Kita sama-sama tahu bahwa sebagian besar masyarakat kita masih butuh edukasi untuk membantu memahami bagaimana sebaiknya menyikapi sebuah hasil pembangunan. Untuk itu tulisan ini dibuat sebagai bagian dari edukasi bahwa indikator pembangunan tidak cukup dinilai secara parsial.
Selain itu, strategi pembangunan yang dapat digunakan juga relatif banyak dan beragam sehingga kita bisa berdiskusi secara praktis dan ilmiah bagaimana sebaiknya menata kebijakan yang lebih empiris dan komprehensif.
Jika menggunakan perspektif nasional, maka pemerintah daerah harus selalu merilis asumsi mikro dan makro ekonomi sebagai muara dari kebijakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan Daerah (APBD) setiap tahun.
Yang menarik dan mendorong pada sebuah pemikiran bahwa pembangunan tidak cukup diselesaikan melalui bantuan dana pembiayaan, target pertumbuhan ekonomi, dan pembangunan secara fisik (infrastruktur). Sebab ada pula persoalan-persoalan sosial seperti terkait perilaku masyarakat (human behaviour) yang tidak kalah penting untuk mendukung kualitas pembangunan di sebuah daerah.
Faktor sosial budaya sering kali terlupakan untuk turut dikemas sebagai paket utuh dari sebuah pembangunan. Padahal budaya seringkali memengaruhi bagaimana perilaku masyarakat di dalam gaya hidupnya, misalnya untuk kehidupan sosial maupun berekonomi.
Korelasi antara sosial budaya dan kualitas pembangunan memang terkadang sulit dideskripsikan melalui pendekatan statistik. Pasalnya produk budaya cenderung lebih dekat sebagai data kualitatif (non-numerik), sedangkan indikator kualitas pembangunan “dipaksa” untuk serba-terukur (numerik).
Beberapa antropolog mendefinisikan budaya sebagai paket pengetahuan, kepercayaan, seni, norma/moral, pengalaman, dan kebiasaan yang bersifat turun-temurun dalam suatu organisasi/komunitas masyarakat. Belum ada tanda-tanda bagaimana produk budaya bisa kita olah sebagai potensi pembangunan.
Akan tetapi jika terjemahan budaya kita daur ulang sebagai cara/perilaku individu untuk merefleksikan ide abstrak, tentang tata cara mengisi konsep-konsep kehidupannya, dari situlah kita berkesempatan untuk memandu agar produk budaya bisa mendukung peningkatan kualitas pembangunan.
Budaya bisa menjadi jembatan untuk menginfiltrasi kebiasaan-kebiasaan baru yang tujuannya adalah membangun karakteristik masyarakat setempat yang lebih ekonomis dan tidak resisten terhadap dinamika zaman.
Berdasarkan karakteristik daerah yang IPM-nya relatif rendah kita disini, kebanyakan aktivitas ekonominya masih dikelola secara tradisional sehingga butuh dukungan untuk meningkatkan nilai tambah ekonominya.
Cara yang pertama, bisa melalui peningkatan kualitas pendidikan dan kesehatan masyarakat. Budaya dalam pendidikan memberikan peluang terbukanya cakrawala baru dan pengetahuan yang lebih mendalam.
Tujuannya adalah melahirkan kreativitas sehingga pilihan produksinya menjadi lebih beragam dan mampu memberikan nilai tambah terhadap potensi lokalnya. Misalnya untuk daerah dengan karakteristik budaya dan agamais, dan history Rempah yang begitu kental, dalam dinamikanya seringkali menjadi pihak yang kurang diuntungkan karena mereka relatif awam dengan tetek bengek mekanisme pasar.
Oleh karena itu mereka perlu dididik, misalnya dengan menjalankan industrialisasi produk pertanian (agroindustri). Tujuannya adalah untuk meningkatkan nilai tambah (shifting produksi) dan mengendalikan keseimbangan pasar supply-demand.
Selain itu juga tidak mengubah struktur dan gejolak sosial secara ekstrem karena pertanian pala dan cengkeh masih menjadi budaya ekonomi masyarakat setempat. Budaya sehat juga tidak kalah penting untuk menjaga produktivitas masyarakat. Semakin terjaga kesehatan masyarakat, kesempatan untuk berproduksi dan menghasilkan pendapatan akan semakin besar
Cara yang kedua adalah pendekatan melalui lembaga sosial baik yang bersifat formal maupun informal. Bagi masyarakat yang hidupnya masih berkomunitas, lembaga sosial dianggap sebagai mata air yang mampu memengaruhi gaya pandangan/respons masyarakat terhadap suatu isu kehidupan.
Misalnya keberadaan kelompok adat, pengajian/rohani, kumunitas budaya, atau sekolah-sekolah yang berbasis keragaman sosial. Untuk itu budaya hidup yang sehat, produktif, dan kreatif perlu dimasukkan sebagai kurikulum pelengkap di samping ajaran khas yang mereka terapkan. Tujuannya agar mereka juga sadar bahwa budaya yang berkemajuan ini tidak kalah penting untuk menjaga kontinuitas kehidupan.
Untuk itu mungkin kami minta dengan hormat kepada para pengambil kebijakan di kota ternate dalam hal ini DPRD Kota Ternate dan pemerintah kota ternate dapat melihat dengan jelih dengan hati yang tulus untuk mengambil langkah agar anggaran kebudayaan di kota ternate dapat di tingkatkan agar kegiatan produktif dan edukatif dapat terlaksana sampai di masyarakat…..
Mungkin saran kami juga, proyek pembangunan fisik yang di luar dari pembangunan pariwisata, mungkin bisa di kurangi, patron pariwisata di kelurahan kastela,dan pariwisata di ake rica kel Rua segera di selesaikan.
Barengi dengan hal tersebut, peningkatan Anggaran ke dinas Kebudayaan kota ternate demi mewujudkan inovasi pembangunan SDM di bidang kebudayaan dan peningkatan Revitalisasi Bahasa daerah dan juga peningkatan seni budaya di kota Ternate. (**)
Discussion about this post