TIDORE- Forum Jojaru (Fojaru) Kota Tidore Kepulauan melakukan diskusi yang bertajuk “Tidore Darurat Kekerasan Seksual” bertujuan memberikan penguatan edukasi kepada masyarakat serta adil dalam penegakan hukum.
Diskusi yang digelarkan di Cafe Sahabat, Pantai Tugulufa itu menghadirkan Pemerhati Perempuan, Astrid Hasan dan didampingi ketua Fojaru Tikep Nuryani Abdullah Puha, Sabtu (25/6/2022).
Menurut dia, kasus kekerasan seksual di Kota Tidore Kepulauan sebagian persen di SP3. Namun, dalam sumber data yang diterima melalui Fospar Maluku Utara, DPPPA Kota Tikep, dan Polres dari Januari-Mei 2022 sebanyak 15 kasus yang terlapor.
Dengan melihat kasus kekerasan tersebut yang tidak ada keberlanjutan sehingga kasus di anggap kadarwasa. Sementara komsumsi publik menjadi perhatian serius untuk strategi yang kita pakai dalam penyelesaian kasus itu seperti apa.
“Kalau kasus yang tidak terlapor ini, akan menjadi bom waktu torang sehingga menimbulkan kasus baru terhadap anak dan lainnya, baik keluarga maupun lingkungan sekitar kita. Untuk itu, kehadiran teman-teman yang berpartisipasi dalam diskusi ini, bisa mencari titik solusi,”tegasnya.
Misalkan, kasus yang berada di trans Tayawi sudah dalam penanganan di Polres Tidore. Tetapi pemberitaan sebelumnya, kasus ini belum cukup bukti, sehingga Polres masih menacari saksi tambahan agar lidik terhadap pelaku.
Bahkan, kata Astrid, dari pengalaman korban kekerasan seksual berinisial AF ini, kita bisa mengubah strategi dalam melawan kasus tersebut.
Ketua Fojaru Tikep, Nuryani Abdullah Puha menambahkan, perkembangan kasus kekerasaan seksual di Kota Tikep ini, yang dibutuhkan adalah membuat edukasi pendidikan kepada anak-anak di bawah umur dan memberi pemahaman tentang berbagai literatur, seperti membaca sejak dini.
“Kalau kita, dari sisi hukum, kendala utamanya adalah susah pada pembuktian,”paparnya.
Sedangkan dari sisi media, bahwa karakteristik masyarakat memandang kasus kekerasan seksual masih feodal. Memang dibenarkan, banyak kasus yang terlapor dan tidak terlapor masih menggunakan bahasa “maaf” sebagai jalan penyelesaian kasus kekerasan seksual. Hal ini, tingkat pengetahuan masyarakat terhadap darurat kekerasan seksual di anggap minim.
” Sebagai penyelenggara kegiatan ini, kami berharap dengan adanya agenda diskusi ke depannya dapat membawa dampak baik terhadap kondisi masyarakat yang acuh terhadap kekerasan seksual. Ini penting adanya kerja sama dari setiap elemen baik masyarakat, Pemerintah, hingga penegak hukum, sehingga memadamkan api kekerasan seksual yang kian menyebar di masyarakat,”harapnya.
Hadir dalam diskusi perdana li ini dihadiri alumni Fakultas Hukum UNNU, dosen, praktisi Pendidikan, Forspar, Media online, dan pengurus Fojaru Tikep. (len)
Discussion about this post